Resensi Film Opera Jawa

Film dan opera kerap disamakan. Keduanya merupakan gabungan dari berbagai seni lain, seperti musik, penulisan, lakon, dan sebagainya. Kesamaan lain antara film dan opera adalah keduanya sama-sama dipertunjukkan dalam satuan waktu tertentu dan disajikan dalam bentuk cerita.

Sekalipun demikian, gabungan keduanya diragukan. Misalnya kritikus film John Simmons di New York Magazine edisi 20 Oktober 1975 tak percaya pada film opera sesudah ia melihat Moses and Aron (Jean Marie Straub) yang difilmkan dari libretto karya Arnold Schonberg. Pandangan Simmons berubah ketika ia menonton The Magic Flute, sebuah opera untuk TV yang dibuat oleh Ingmar Bergman berdasarkan libretto dari Emmanuel Schikaneder untuk komposisi karya Mozart.

Film dan opera

Penulis Washington Post, Philip Kennicott, dalam artikelnya di koran itu tanggal 9 Januari 2005 menulis bahwa kamera film bisa menyelesaikan satu masalah opera, yaitu mengantarkan sifat detail opera. Pergerakan kamera memungkinkan penonton melihat ekspresi wajah pemain. Di sisi lain opera memberi kemungkinan pada film untuk menghindari rutinitas dalam menyajikan realisme. Pengalaman menonton opera (operatic experience), menurut Kenicott, tak mungkin dipindahkah begitu saja ke dalam sebuah realisme film. Pengalaman opera menghadirkan penyimpangan kenyataan keseharian berupa mengikuti cerita lewat dialog berupa singing text atau naskah yang dinyanyikan.

Maka, film opera sebagai sebuah pengalaman opera selalu terbatasi oleh keberadaan medium. Jika sebuah pentas opera difilmkan mentah-mentah, maka produknya menjadi sebuah daur ulang dari karya seni lain. Keunggulan medium film tak berarti apa-apa kecuali penyimpanan dan distribusi. Derek Bailey tetap menggunakan metode ini dalam Salome (1992).

Sementara itu, Franco Zeffirelli memfilmkan opera dengan menyajikan detail set yang spektakuler dalam film tersebut ketika memfilmkan La Triviata (1982)-nya Verdi berdasar libretto Fransesco Maria Piave. Latar film ini mengantarkan detail yang tak akan tertangkap dalam pertunjukan opera di gedung yang terbatasi jarak fisik. Bisa jadi Zeffirelli memilih hal ini mengingat latar belakangnya sebagai pengarah artistik untuk beberapa sutradara Italia terkenal, seperti Vittorio da Sica dan Luschino Visconti.

Dari bentuk-bentuk film opera di atas, Kenicott masih melihat adanya kemungkinan bahwa opera dan film bisa bertemu secara optimal. Film telah memperbaiki penyajian opera menjadi lebih dinamis (fast-paced). Kemungkinan lain adalah peluang bagi pembuat film untuk membuat sebuah bentuk hibrida di antara kedua medium ini untuk mencari cara tutur baru. Film opera yang baik? Menurut Kenicott, hingga kini masih belum dibuat.

Bentuk hibrida

Dalam konteks ini, Garin Nugroho melalui Opera Jawa terlihat mencoba sebuah terobosan. Usahanya mempertemukan opera dan film bagaikan usaha pencarian bentuk hibrida yang bisa jadi penting dalam konteks sejarah perfilman. Pertama, inilah pertama kalinya sebuah film opera dibuat di Indonesia. Film musikal atau operet TV memang banyak, tetapi film dengan seluruh dialog berupa singing text baru ada pada Opera Jawa.

Kedua, inilah pertama kali sebuah film opera tidak mengambil dari partitur yang sudah ada sebelumnya dan singing text itu tak berasal dari sebuah libretto. Opera Jawa menjadi bentuk film opera hibrida karena menggabungkan keduanya dalam film. Opera Jawa membebaskan dirinya dari pakem-pakem sebuah opera ataupun kategorisasi genre film. Ia bukan opera karena tak berangkat dari partitur dan libretto. Dengan demikian, Opera Jawa tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori film opera dalam pengertian tradisional.

Bahkan, ia lebih dekat dengan genre film musikal, terutama subgenre Broadway-musical yang kerap menggabungkan unsur musik dan tari dalam cara tuturnya. Namun, perbedaan besar antara Opera Jawa dan kelaziman genre musikal (dan bahkan kategori film opera) adalah latar bagi ceritanya. Film musikal dan film opera umumnya disajikan dalam latar realis, sedangkan Opera Jawa menghadirkan latar nonrealis.

Namun, latar nonrealis dalam Opera Jawa sebenarnya ragu. Di satu sisi Garin memasukkan berbagai simbol, tetapi simbol-simbol itu kerap merupakan substitusi benda nyata ketimbang membangun metafora yang menciptakan makna baru. Misalnya, Garin menggunakan lelehan lilin merah untuk menggambarkan darah atau patung kain seukuran badan manusia untuk menggantikan jenazah. Apabila benda-benda itu diubah dengan darah dan jenazah manusia sungguhan, tak akan ada metafora yang hilang darinya. Tampaknya ini dilakukan Garin sekadar menghindari kekerasan frontal saja.

Keraguan lain adalah sinematografinya yang merupakan sinematografi yang digunakan untuk menyajikan latar realis ketimbang latar nonrealis. Pencahayaan dan pengembangan film terlalu mewakili sudut pandang keseharian ketimbang membangun suasana dan nuansa.

Di sisi lain Garin tetap menyodorkan beberapa metafor yang luar biasa lewat latar film ini. Labirin sabut kelapa dalam adegan penculikan Siti (Artika Sari Devi) atau kain merah panjang persembahan dari Ludiro (Eko Supriyanto) kepada Siti atau adegan Siti dibalur dengan tanah liat berhasil menghadirkan keragaman dan kedalaman interpretasi sebagaimana halnya sebuah metafor yang kuat.

Medium

Di sinilah penggunaan medium seni di film ini menjadi penting. Seni instalasi yang menjadi set bagi film ini kehilangan salah satu kekuatannya: pengalaman ruang. Penyajian seni instalasi di film bersifat dua dimensi, dan pergerakan kamera tetap tak bisa menggantikan pengalaman ruang fisik dalam menikmati medium seni instalasi. Hal ini terjadi karena memang sejak awal seni instalasi dalam film ini dibuat untuk set film dan tak berdiri sendiri. Akhirnya seni instalasi di film ini tereduksi dari perannya sebagai medium tersendiri.

Bagaimana dengan medium seni tari? Di sini Opera Jawa berbeda dengan kategori film tari. Film tari umumnya merupakan kolaborasi antara pembuat film dan sang penari untuk memindahkan ekspresi melalui gerak tubuh ke dalam bentuk sinematis. Film tari bertujuan menangkap gerak. Elemen-elemen film seperti camera work (gerak kamera dan tata cahaya) dan montage harus mampu menangkap esensi dan semangat gerakan tari itu tanpa mereduksi atau melebih-lebihkannya.

Berbeda dengan film tari, Opera Jawa menggunakan medium tari sebagai bagian dari ekspresi akting sebagai pengganti akting dengan menggunakan bahasa tubuh. Dengan demikian, sesungguhnya tarian merupakan bagian dari narasi film, yaitu sebagai pengganti elemen lakon yang mendukung penceritaan. Hal ini tidak sepenuhnya baru. Film broadway-musical umumnya seperti ini. Opera Jawa seperti melanjutkan eksperimen Garin ketika ia memindahkan tarian Bedoyo Ketawang ke dalam filmnya, Bulan Tertusuk Lalang (BTL). Hanya saja di BTL, tarian merupakan diegetic pictures atau gambar yang berasal dari mayapada cerita. Sedangkan dalam Opera Jawa, tarian tidak berasal dari mayapada cerita melainkan sebuah cara tutur.

Dalam penyajian medium tari ini, camera work dalam film ini tidak bersoal dalam menyalurkan cerita, tetapi tak sepenuhnya berhasil menangkap gerak tarian. Beberapa pergerakan kamera terasa tak pas sehingga menghilangkan unsur dramatik yang seharusnya muncul apabila kamera diletakkan lebih tepat, misalnya pada adegan penyerbuan pasar oleh anak buah Ludiro. Gambar yang diambil middle shot menghilangkan aspek kolosal tarian itu.

Tak seluruhnya camera work itu gagal. Pada adegan lain, misalnya adegan di kamar pasangan suami istri Siti-Setyo (Martinus Miroto), kamera berhasil menangkap keliaran imaji seksualitas sang perempuan. Secara umum tarian pada Opera Jawa berhasil membangun ekspresi mentah dan cenderung liar dari cerita yang ingin dibangun oleh film ini. Keliaran dan kementahan ekspresi ini berhasil membuat cerita berjalan dengan lebih mencekam.

Medium lain yang menarik adalah tembang Jawa. Jelas bahwa nilai puitis tembang-tembang itu hilang di terjemahan. Sedangkan ilustrasi musik yang dibuat oleh Rahayu Supanggah mungkin bukan komposisi klasik semisal gubahan Verdi yang akan mendapatkan immortality-nya jika terpisah dari film ini. Namun, eksplorasi khazanah musik tradisional untuk mengaku diri sebagai sebuah partitur opera merupakan sebuah pilihan yang berani. Ketika gending Jawa harus membawakan requiem karya Mozart, suasana mencekam tetap terpelihara.

Unsur musikal yang tak kalah menarik dibawakan oleh Slamet Gundono. Berbeda dengan tembang Jawa yang menjadi tubuh cerita, lagu-lagu Gundono merupakan narasi yang terpisah dengan tubuh cerita. Bahasa Jawa yang digunakan juga berbeda. Posisi Gundono sebagai seorang trubadur keliling mengimplikasikan bahwa ia merupakan bagian dari tradisi folk yang mengomentari peristiwa politik besar di sekelilingnya dengan cara yang humoris.

Cerita

Semua medium itu tak akan menjadi cara ucap yang berhasil apabila Garin tidak menyajikan cerita yang baik dalam film ini. Cerita Opera Jawa tetap menjadi elemen terkuat yang membuat jahitan berbagai medium itu menjadi wadah bagi sebuah gabungan dari ide estetik dan muatan kisah yang ingin disampaikan. Dengan menyadur bebas epik Ramayana, cerita dalam Opera Jawa berhasil menyasar ke berbagai persoalan kontemporer bangsa ini dengan sangat baik, dan akhirnya merefleksikan persoalan yang lebih universal.

Pertama, Opera Jawa memberi komentar serius terhadap konflik berdarah multidimensi yang terjadi di negeri ini. Di satu sisi Opera Jawa menggambarkan pola-pola hubungan kekuasaan yang merupakan gabungan unsur politik dan ekonomi. Di sisi lain, tampak bahwa ego para laki-laki memainkan peran sentral dalam konflik berdarah ini. Sekalipun perebutan perempuan bukan penyebab tunggal terjadinya puncak konflik antara Ludiro dan Setyo, jelas bahwa kedua laki-laki itu merasa bahwa ego mereka tercabik-cabik ketika mereka tak bisa merebut hati perempuan yang mereka cintai. Inilah yang memicu terjadinya perang terbuka antar keduanya.

Kedua, Garin menggambarkan perempuan sebagai manusia yang punya keinginan dan hasrat yang kuat, termasuk hasrat seksual. Secara metaforis Garin menggambarkan bahwa Siti berani membiarkan Ludiro masuk ke kamar tidurnya dan menggodanya. Perempuan juga punya hasrat seksual dan mungkin saja bermain-main dengan itu, mengapa tidak? Sekalipun penggambaran adegan ini hanya menciptakan imaji yang kabur akan hasrat perempuan itu, tetapi pembicaraan ke arah itu memungkinkan untuk dibuka oleh Opera Jawa.

Dalam konteks Indonesia kini di mana ego seksual laki-laki terwujud dalam poligami, Opera Jawa berhasil membuat sebuah komentar menarik bahwa perempuan bisa saja punya hasrat serupa yang pada gilirannya bisa menuntut jalan keluarnya sendiri dengan segala implikasinya, termasuk perang. Relasi kuasa dalam Opera Jawa beroperasi tak hanya pada hubungan-hubungan ekonomi seperti Ludiro-Setyo, tetapi juga dan justru pada pengelolaan hasrat yang mendasar.

Ketiga, ketika perempuan memilih menjadi ladang bajakan, posisinya adalah seorang empu yang bijaksana dan dirindukan seperti Sukesi (Retno Maruti), ibunda Ludiro. Ketika Setyo menantang Ludiro dengan perang terbuka dengan cara membakar kain merah persembahan Ludiro kepada Siti, Ludiro pun jungkir balik, menangis, dan ingin masuk lagi ke dalam rahim sang ibu. Perempuan adalah makhluk yang bebas memilih, termasuk untuk menyediakan perlindungan bagi laki-laki.

Di luar implikasi-implikasi berbau feminis dari cerita film ini, cerita Opera Jawa tetap mengandung drama yang kuat. Sejak awal film, penonton menantikan pertempuran terakhir antara Ludiro dan Setyo. Posisi ekonomi politik keduanya serta perebutan pengaruh dan ego mereka terus-menerus berbenturan sepanjang cerita melalui figur Siti. Konflik yang terjaga dan terus terbangun sepanjang film membuatnya enak untuk diikuti sekalipun Opera Jawa menyajikannya dengan ritme yang tergolong lambat.

Dengan rangkaian kekuatan semacam ini, Opera Jawa berpeluang memberi sumbangan besar pada tonggak sinema Indonesia, bahkan mungkin saja dunia. Terobosan bentuk Opera Jawa berhasil menawarkan sebuah bentuk hibrida dari film opera yang belum tentu merupakan jawaban terhadap Kenicott dalam tulisan di Washington Post di atas. Namun, sifat hibrida Opera Jawa jelas memberikan semacam cabaran bahwa medium film masih mungkin berkembang meluas dan mendapatkan bentuk-bentuk pengucapan baru. Garin Nugroho lewat Opera Jawa mengeksplorasi hal itu.


::Dimuat di Rubrik Bentara, Harian Kompas, Jumat 2 Februari 2007

Related Posts



0 komentar:

 
eXTReMe Tracker